Dahulu kala ada kisah tentang seekor induk landak dan anaknya yang tinggal kerasan di sebuah gua. Saat itu musim dingin, hutan bagaikan kulkas raksasa yang membekukan apapun di dalamnya. Dalam udara yang menggigil, sang induk menyuruh si kecil masuk gua untuk menghangatkan diri, namun si kecil menolak dan masih ingin bermain. Sang induk yang marah langsung mengendong si kecil yang meronta-ronta. Namun sayang, saat sang induk mengendong anaknya terlalu erat, duri di tubuhnya membuat si kecil tertusuk kesakitan dan terluka.
Pernah emosi saat si kecil tantrum, Bunda? Tentu pernah. Begitu juga saya. Rasanya tensi langsung melonjak naik melihat tingkah anak-anak yang terkadang tak terkendali. Apakah Bunda pernah mengalami satu atau beberapa adegan drama di bawah ini? Remah-remah biskuit bertebaran di sofa. Susu bubuk tumpah dan memenuhi lantai, atau tragedi minyak goreng yang bercampur dengan bedak. Oh ya, ada juga kisah banjir dadakan gara-gara air kran yang mengucur lupa dimatikan. Atau sebotol sampoo yang disulap jadi lautan busa di bak kamar mandi yang baru dikuras? Belum lagi jika musim hujan, si kecil tiba-tiba nyelonong masuk rumah dengan jejak kaki yang penuh lumpur. Belum puas, ia berlari kejar-kejaran dengan kakaknya, keliling ruang tamu sambil membuat cap tangan basah di dinding kamar. Semua adalah cerita klasik yang hampir pernah kita alami. Apalagi kalau rentang jarak lahir antara adik dan kakak tidak telalu jauh, wuahhh.. serasa seperti mau perang saudara rasanya. Bagaimana perasaan Bunda waktu itu? Kesal, marah, merasa putus asa lalu pengin nangis di pojokan? He..he.. saya pun pernah mengalaminya, Bunda.
Semua hanyalah masalah waktu. Masa-masa seperti ini suatu saat pasti akan berakhir dengan sendirinya. Saat anak-anak lebih suka berkumpul bersama teman-temannya daripada bersama kita. Saat mereka sudah bisa makan, mandi dan beraktifitas sendiri tanpa butuh bantuan kita lagi. Saat mereka tak lagi berlari dan mencari kita saat mendapatkan masalah. Saat itulah, cerita-cerita klasik di atas hanya akan menjadi kenangan manis yang akan terus diceritakan berulang-ulang, bahkan ketika mereka telah memiliki keluarganya sendiri.
Jadi saat si kecil tantrum, sabar ya, Bunda. Dongeng induk landak dan anaknya dari Jerman kuno itu mungkin bisa kita gunakan sebagai alarm. Jangan sampai emosi yang tak terkendali membuat kita menyesal di kemudian hari. Sesungguhnya kita bisa mengambil pelajaran dari sebuah dongeng dalam kehidupan kita sehari-hari.
Sebenarnya tantrum itu apa, sih? Menurut bahasa, tantrum berarti prilaku anak yang tidak bisa mengendalikan emosi dan perasaan kecewanya karena keinginan yang tidak terpenuhi. Si kecil biasanya mengekspresikan kekecewaannya dengan berteriak-teriak, menangis sambil berguling-guling sampai keinginannya terpenuhi. Ada juga dari mereka ini yang suka melempar barang-barang sambil menyakiti dirinya sendiri.
Kita tahu, para ibu adalah makhluk Tuhan yang dianugerahi emosi paling peka di dunia ini. Dari emosi yang di atas rata-rata inilah mereka mampu merawat seluruh keluarga dengan penuh kasih. Dengan begitu banyak pekerjaan rumah tangga yang tak ada habisnya, ibu ibarat Dewi Avalokiteshwara dengan delapan tangan yang salah satunya memegang cawan kehidupan. Dari tangan-tangan itulah ibu mendenyutkan jantung kehidupan dalam sebuah rumah tangga. Seorang ibu paham, anak yang tidak bahagia di dalam rumahnya, tidak akan menemukan kebahagiaan di manapun ia berada. Karena itu, ia rela melakukan apapun agar rumah menjadi tempat paling nyaman bagi si mungil. Namun hal ini bukan berarti Bunda boleh selalu menuruti keinginannya, ya.
Emosi dengan level di atas rata-rata ini seringkali menjadi bumerang apabila Bunda tidak mampu menguasainya. Kelelahan yang seringkali Bunda alami terkadang rentan membuat emosi tak terkendali. Jika sudah seperti itu, hal kecil saja sudah mampu membuat Bunda marah, kan? Luapan emosi itu bikin kita jadi pengin mencubit, membentak, memukul, mengomel tanpa henti atau melakukan apa saja untuk menghentikan si kecil dari tantrumnya.
Bunda, bekas cubitan atau pukulan itu mungkin akan hilang hanya dalam beberapa jam. Namun memori akan rasa sakit itu bisa jadi akan terus teringat dalam jangka waktu yang lama. Kenangan itu akan menjadi trauma psikologis yang berdampak jangka panjang.
Terus, memang bunda tidak boleh emosi? Kalau terlanjur emosi dan marah bagaimana? Kalau tidak boleh marah bagaimana Si Tantrum itu tahu kesalahannya? Bukankah dengan nasehat saja terkadang tidak cukup? Bukankah terkadang aturan baru bisa ditegakkan selepas Bunda marah? Oh!
Oke, Bunda. Tenang dulu. Tarik nafas, kita akan membahasnya pelan-pelan. Pertama, kita harus paham, anak melakukan hal-hal yang kita anggap “nakal” terkadang bukan karena ia memang benar-benar nakal. Bisa jadi itu hanya reaksi dari ketidakmampuannya mengendalikan dan mengekspresikan emosi. Ia masih kecil kan? Karena ketidakmampuan mengendalikan emosi itulah, ia mengekspresikan dengan cara berteriak-teriak, melempar barang-barang sambil meraung – raung dan ekspresi marah lainnya. Nah, masalahnya seringkali dengan alasan “tidak tahan dan malas repot” kita menyerah begitu saja dan menuruti keinginan si kecil. Hal ini tidak selalu baik bahkan dapat membuat anak berfikir ia bisa menggunakan prilakunya untuk memaksakan kehendak. Dengan begitu ia akan selalu mengulang dan mengulang prilakunya untuk mendapatkan keinginannya. Nggak mau kan si kecil seperti itu Bunda? Kita bisa repot sendiri lho nantinya..
Bunda, kita harus berlatih mengendalikan emosi sehingga kemarahan ini tidak bersifat destruktif. Ehmm..Tentu hal ini tidak instan dan butuh latihan kesabaran tingkat tinggi. Bukankah aktor yang baik sekalipun masih perlu latihan terus-menerus? Mungkin ini hal baru bagi Bunda atau bahkan si kecil. Latihan kesabaran akan membuat kita tetap “dingin” dalam situasi yang panas.
Banyak dari kita, terutama yang masih baru merasakan menjadi ibu, merasa bingung saat mendapati si kecil tantrum. Kita seringkali merasa tidak berdaya, sehingga cenderung buru-buru menuruti keinginannya hanya supaya kondisi kembali tenang. Belum lagi, orang-orang disekitar kita pasti langsung heboh dan ikut bereaksi sehingga membuat kita semakin salah tingkah dan terpojok. Akhirnya, jalan paling aman adalah menuruti keinginannya.
Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan saat ia mulai menunjukkan gejala tantrum? Jika ia sudah mulai menunjukkan gejala tantrum, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah selidiki dulu apa masalahnya. Jika masalah itu sesuatu yang masuk akal, misal ia lapar tapi kita masih sibuk mengerjakan yang lain sehingga ia merasa tidak diperhatikan, coba hentikan aktifitas sejenak. Peluk dan tunjukkan ia begitu berharga untuk kita. Sehingga ia merasa tidak diabaikan.
Namun jika permintaannya tidak masuk akal, ( anak saya pernah meminta saya mengambil bulan dilangit hanya karena ia terobsesi pada bentuknya yang seperti lampu raksasa). Cuekin saja sampai ia berhenti sendiri. Terkadang bersikap cuek pada si kecil bisa jadi terapi untuk menghentikan tantrumnya. Biarkan ia tahu bahwa menangis dengan model apapun takkan bisa membuat keinginannya terpenuhi.
Cuek adalah salah satu tips yang bisa Bunda lakukan jika sudah melihat gejala tantrum itu mulai muncul. Ada saat-saat tertentu kita bisa membiarkan anak tantrum dan tak terlalu menuruti semua keinginannya. Namun sebelum bersikap cuek, Bunda harus memastikan area sekitar aman dari bahaya. Jauhkan dari benda tajam atau hal-hal yang bisa membahayakan keselamatannya. Walaupun cuek, Bunda harus tetap waspada ya, jangan sampai si tantrum ini menyakiti dirinya sendiri.
Seringkali dengan alasan “tidak tahan dan malas repot” kita menyerah pada keinginan si kecil. Anak yang terbiasa dituruti akan menyadari bahwa ternyata ia bisa memanipulasi orang lain untuk memaksakan kehendaknya. Bila si kecil terus menerus menjadikan tantrum manipulatif ini sebagai senjata, pasti akan merepotkan sekali. Setiap kali menginginkan sesuatu ia bisa otomatis mensetting dirinya untuk tantrum tanpa melihat tempat dan kondisi. Tantrum manipulatif ini akan muncul sewaktu-waktu karena ia sadar cara ini akan berhasil dan selalu berhasil. Saya masih ingat saat si kecil yang berusia 3 tahun itu, setiap kali akan trantrum selalu melirik dulu ke saya. Jika ia melihat saya sedang memperhatikannya maka ia akan mulai berteriak kencang sambil pura-pura menangis. Semakin saya berusaha memperhatikannya, ia akan semakin kencang nangisnya. Terkadang saya lebih memilih pura-pura tidak melihatnya dan bersikap seolah-olah tidak akan terjadi apa-apa. Lama-lama ia akan merasa lelah dan berpikir percuma saja karena senjatanya tidak mempan lagi. Setelah itu ia akan diam dengan sendirinya. Lha bagaimana lagi sudah nangis sampai kenceng eh, emaknya cuek aje. Hi..hi..
Si kecil juga seharusnya mulai diberi batasan waktu kapan kita bisa mentolerir sikapnya tersebut. Berikan waktu “time out” dengan pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal. Ada saatnya ia diberitahu batasan waktu kapan ia harus menghentikan tantrumnya. Sering saat si kecil tantrum saya katakan, “Ok, boleh nangis tapi cuma 5 menit ya!” Jika hal ini dilakukan terus menerus akan mampu membantunya mengendalikan emosinya.
Pada dasarnya, sikap tantrum adalah prilaku yang normal dilakukan anak-anak usia 2-4 tahun dan mencapai puncaknya saat anak usia 2-3 tahun. Setelah itu ia mulai belajar untuk mengendalikan diri. Pada fase puncak ini, Bunda harus mampu bersikap sabar. Jika perlu tarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri sejenak saat menghadapi si tantrum ini. Latihan kesabaran akan mampu membuat kita tetap berfikir jernih dalam kondisi tertekan. Para Ibu yang mampu berfikir jernih akan dengan mudah keluar dari kubangan hitam kemarahan dan siap muncul kembali dengan senyuman.
Saat tantrumnya sudah mereda, katakan pada si kecil dengan bahasa yang mudah dipahami, terkadang Bunda tidak bisa selalu menuruti keinginannya dan membiarkannya marah. Namun itu tidak berarti mereka berhenti saling menyayangi. Seperti halnya matahari yang terkadang tertutup mendung namun sebenarnya ia masih ada disana, menunggu kembali bersinar di saat yang tepat. Biarkan sikecil tahu, kemarahan adalah emosi yang wajar namun perlu dikendalikan. Biarkan ia menangkap hal itu sebagai bentuk cinta Bunda padanya. Jangan sampai dengan alasan kasih sayang, kita justru menyakitinya karena tak bisa mengendalikan emosi seperti induk landak pada anaknya. Setelah marah, jangan lupa peluk dia dan ucapkan kata bahwa ia begitu berarti untuk kita. Jadi, mulai sekarang kalau si kecil nangis, jangan ikutan nangis ya, Bunda..
2 Comments. Leave new
Great post. That was informative
thank you