Suatu hari di sebuah sekolah sedang diadakan percobaan. Anak-anak diperintahkan untuk membawa biji kacang hijau, kapas basah dan gelas bekas air mineral. Seorang guru dengan penuh keyakinan menjelaskan pada murid-muridnya bahwa suatu saat kacang hijau itu akan tumbuh menjadi kecambah. Dan jika mereka merawatnya dengan tekun maka ia pun akan tumbuh menjadi tanaman yang nantinya akan muncul darinya biji-biji yang siap tanam kembali. Semudah itu seorang guru meyakinkan mereka dan seyakin itu mereka percaya penjelasan gurunya. Dan Qodarullah, sayalah guru itu.
Sembilan tahun mengajar di desa dengan segala keterbatasan seringkali membuat anak-anak itu menjadi pribadi yang tidak yakin. Benarkah nasib mereka akan semulus kisah biji kacang hijau? Bukankah selalu ada resiko yang membuatnya tak bisa tumbuh sempurna? Bisa saja kan biji itu tetiba mati di tengah jalan tanpa pernah menumbuhkan daun dari tangkainya. Mati dimakan tikus atau ada tangan jahil yang merusak tangkai misalnya.
Melihat fenomena anak lulus SMP langsung menikah atau menjadi buruh bangunan adalah cerita umum yang hampir setiap hari mereka temui. Rutinitas yang terus menerus terkadang menjadikan diri mereka tidak yakin pada masa depan mereka sendiri. Seolah masa depan hanya milik mereka yang memiliki beragam fasilitas yang memudahkan.
Sungguh tidak mudah mengubah paradigma yang sudah terlanjur mendarah daging ini. Tidak gampang menumbuhkan rasa percaya diri seyakin pada kacang hijau yang pasti tumbuh. Lalu bagaimanakah cara menumbuhkan keyakinan bahwa masa depan mereka sepasti biji kacang hijau yang akan tumbuh. Butuh pendampingan dan motivasi terus menerus. Sekuat saya bertahan sekuat itu pula godaan untuk menyerah. Sungguh tak mudah membangun idealisme bahwa hidup pun butuh mimpi.
Berawal dari kegelisahan ini saya bertahan untuk tetap menemani mereka. Banyak sekolah favorit yang menjanjikan karier yang lebih baik. Namun bukankah manusia yang paling baik adalah yang paling membawa manfaat? Toh rezeki sudah diatur oleh-Nya jadi kenapa saya harus takut rezeki akan tersendat saat saya lebih memilih bersama mereka. Bukankah kita harus yakin bahwa segala urusan akan kembali pada-Nya? Lagipula mungkin di sini kehadiran saya lebih bermakna. Dan kita tak pernah tahu bagaimana jalan yang Allah takdirkan untuk kita. Bukankah Ia unik dan lebih tahu yang terbaik untuk kita? Dan saya percaya selalu ada hasil yang indah saat kita meyakini-Nya.
Saya selalu teringat pada kisah katak yang sedang berlomba lari. Bagaimana katak-katak ini menyerah satu persatu karena para penonton berteriak-teriak dengan kalimat yang menjatuhkan. Seperti halnya diri kita yang setiap hari dijejali kata-kata, “Ah, kamu gak bakalan bisa.”, “Kamu gak akan mampu.” Kata-kata semacam ini seolah ditegaskan dengan nasib-nasib orang-orang di sekitar mereka yang ‘tidak’ sukses. Lama-kelamaan persepsi ini akan direkam dalam otak bawah sadar bahwa seperti itulah nasib mereka kelak.
Namun ternyata di antara katak-katak itu ada seekor katak yang terus berlari tanpa henti seolah tak menghiraukan teriakan-teriakan penonton. Dan akhirnya ia menjadi satu-satunya katak yang berhasil mencapai garis finis. Saat ditelusuri ternyata sang katak pemenang itu tuli. Begitu pun kita ada saatnya perlu belajar ‘tuli’ pada komentar-komentar yang menjatuhkan. Kecuali pada kritik yang tujuannya untuk membangun.
Berada di antara mereka saya seperti berada dikumpulan katak-katak yag sedang berlomba lari. Banyak dari mereka yang akhirnya menyerah, namun tak sedikit pula yang mencoba bertahan dan menyentuh garis finis. Saya ingin menemani dan membantu mereka menemukan takdirnya yang terbaik. Mewarnai mereka walau hanya setitik yang saya mampu.
2 Comments. Leave new
Ceritanya menginspirasi sekali mbak. Jangan menyerah mbak terus semangat
Terimakasih mbak