Bagi sebagian keluarga Indonesia gadget adalah musuh yang harus diperangi demi kesehatan mental anak-anak. Banyak yang percaya dampak buruk kecanduan gadget sangat sulit disembuhkan. Meski tidak selamanya buruk, masih ada hal positif yang bisa diambil saat anak-anak berinteraksi dengan gadget. Misalnya mudahnya mendapatkan sumber informasi dan media belajar yang menarik. Namun tak bisa dipungkiri penggunaan gadget yang berlebihan dan tanpa mengenal waktu cukup mengalihkan dunia anak-anak dari permainan tradisional. Jujur ini sangat menyedihkan bagi saya yang dulu merasakan sendiri bagaimana asyiknya bermain engklek atau dakon di bawah pohon yang rindang. Anak-anak jaman sekarang lebih mengenal roblox, mobile legend atau minecraft.
Berbicara tentang permainan tradisional membuat saya teringat kenangan di masa lalu. Saya lahir di kampung. Sebagaimana anak kampung lainnya masa kecil saya bisa dibilang sangat bahagia. Meski hidup dalam banyak keterbatasan namun rasanya semua menyenangkan. Hehe… bagi saya waktu itu, kemiskinan tidak selalu identik dengan hidup susah. Saya masih teringat bagaimana asyiknya bermain congklak bersama teman-teman di halaman rumah sambil ditemani cahaya bulan purnama dan lampu sentrong. Lalu kami saling bercerita tentang kejadian hari itu. Kadang kami bercerita tentang kisah bahagia, kadang juga menertawakan kesialan yang kami alami.
Misalnya cerita tentang Udin, salah satu teman di kampung, mencuri mangga yang dijual Pakde Jafar seorang pedagang buah keliling. Di waktu yang bersamaan Agus, teman kami yang lain, lewat di depan jualan Pakde Jafar. Entah bagaimana awal mulanya tiba-tiba Pakde Jafar menuduh Agus yang mencuri mangganya. Jadilah Agus tertuduh mencuri mangga sementara Udin tertidur kekenyangan di belakang poskamling. Semua baru ketahuan saat malam harinya Udin sakit perut. Kami yang sedang berkumpul di bawah sinar rembulan tertawa terbahak-bahak saat melihat Udin bolak balik ke kamar mandi. Sementara Agus hanya bisa menggerutu namun tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun entahlah Agus akhirnya ikut tertawa entah karena menertawakan kesialan yang baru dialaminya atau karena melihat Udin yang meringis kesakitan.
Siangnya sepulang sekolah kami masih mandi di sungai sambil main ban-banan capek berenang kami tidak langsung pulang. Aktifitas masih berlanjut dengan permainan lain seperti engklek, gobag sodor, main lompat tali atau petak umpet. Di kampung kami belajar untuk saling berinteraksi sosial dengan baik. Kami menjadi anak-anak yang bisa mengendalikan emosi dan dekat satu sama lain.
Hidup dengan kearifan lokal dengan rasa kepedulian yang kental telah membentuk kami menjadi pribadi yang tangguh dan mampu berempati dengan sesama di kemudian hari.
Dulu, saya dan anak-anak perempuan lainnya suka sekali bermain jual-beli. Mata uang yang digunakan hanya daun. Hehe.. namun meski hanya menggunakan daun cukup membuat kami belajar ilmu hitung. Kami juga suka menonton anak-anak laki-laki bermain layang-layang di lapangan. Kami biasanya berteduh di bawah pohon yang rindang sambil sesekali bertepuk tangan jika yang berhasil mengalahkan layang-layang milik anak-anak kampung sebelah. Rasa bahagia kala itu sangat membekas di hati menjadi kenangan tak terlupakan meski saya telah dewasa dan berkeluarga.
Kini saya melihat anak-anak tak lagi mendapatkan pengalaman seperti jaman saya kecil dulu. Anak-anak di rumah lebih sering bermain gadget meski tidak sampai kecanduan. Di rumah saya memang menerapkan aturan dan batas-batas tertentu saat bermain gadget. Namun sayangnya ketika ada saudara atau teman-teman mereka datang sambil membawa gadget tentu saya merasa kesulitan menerapkan aturan.
Saya amati teman-teman anak saya yang masih kecil ini satu persatu. Ada rasa prihatin melihat mereka kadang tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Bahkan ketika dipanggil namanya pun mereka seolah tidak mendengar dan lebih asyik dengan gadgetnya. Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahaya menggunakan gadget yang berlebihan pada anak. Efeknya pun tidak main-main. Anak-anak yang terpapar gadget dalam waktu yang lama akan membuat sirkuit otaknya terganggu. Ini dampaknya seperti yang terjadi pada kecanduan narkoba dan alkohol.
Terlalu lama menggunakan gadget juga membuat anak-anak tidak bisa mengontrol emosi dengan baik. Syarafnya bermasalah dan selalu menginginkan segala sesuatu dengan cepat. Selain itu gadget membuat anak-anak menjadi kesulitan dalam belajar membaca wajah, ekspresi dan bahasa tubuh dari lawan bicaranya. Padahal ini sangat penting untuk menumbuhkan rasa empati dan kemampuan bersosialisasi nantinya. Gadget membuat anak-anak tidak punya pengalaman yang cukup untuk belajar tentang hal-hal penting yang mungkin akan berguna di masa depannya nanti.
Baca juga: Hobi Baca Tapi Gak Punya Waktu? Buka Aplikasi Audiobook Storytel Aja
Untunglah, masih ada orang-orang yang peduli tentang hal ini. Salah satunya adalah Achmad Irfandi dari Dusun Bendet 02/03 Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo. Keinginannya untuk mengembalikan kebahagiaan anak-anak tanpa kecanduan gadget telah membuatnya menjadi salah satu inspirator terbentuknya Yayasan Kampung Lali Gadget.
Yayasan Kampung Lali Gadget ini berdiri sejak tahun 2018, berawal dari keprihatinannya melihat anak-anak di kampungnya yang nongkrong di warung kopi berjam-jam hanya karena mencari WIFI. Anak-anak mulai kecanduan dan susah keluar dari kebiasaannya ini sehingga membuat banyak orang tua menjadi pusing. Irfan ingin anak-anak kembali bahagia dan tidak lagi kehilangan masa kecilnya. Ia mulai kembali mengenalkan permainan masa kecil seperti lompat tali, egrang, ketapel, congklak, cublek-cublek suweng, dan lain-lain.
Anak-anak diajak berkenalan kembali dengan permainan yang bisa dilakukan menggunakan tanah liat, air, rumput, batu dan sebagainya. Ah, saya jadi teringat asyiknya bermain lumpur. Dulu sekolah saya di pinggir sawah jadi ketika pulang saya dan teman-teman suka bermain lumpur dulu. Pulang-pulang emak sudah siap menunggu di depan pintu sambil tangannya siap memukul pantat karena marah baju seragam kotor padahal besok masih dipakai lagi. Haha.. I love Emak.
Menurut Irfan, permainan tradisional ini bagus untuk melatih kerjasama dan kepemimpinan dalam diri anak-anak. Memang benar sih, di sini mereka belajar untuk leadership, saling bekerjasama, dan melatih sportifitas.
Baginya melesatnya kemajuan teknologi tidak boleh menggerus budaya lokal. Semua harus berjalan bersamaan. Untuk itu ia bercita-cita membentuk culture hub (terminal budaya) di Kampung Lali Gadget. Harapannya akan banyak komunitas budaya bertemu dan berkolaborasi. Semoga cita-citanya segera tercapai ya, Mas Irfan. Ah, saya membayangkan jika saja ada 10 orang lagi seperti Mas Achmad Irfandi mungkin anak-anak ini akan mendapatkan kebahagiaan yang berbeda. Kebahagiaan yang lebih berkesan dan menjadi kenangan yang akan diwariskan ke generasi setelahnya. Ah, mas Irfan membuat saya sukses bertanya dalam hati, siapkah kita menjadi Achmad Irfandi baru di kampung kita sendiri?
Baca juga : Imlek dan Kenangan Masa Kecil Saya
1 Comment. Leave new