
Eko Cahyono, Penggagas Perpustakaan Anak Bangsa. (Dok pribadi Eko Cahyono)
Mendengar kata Jabung selalu membuat ingatanku kembali pada indahnya coban-coban yang tak terbilang banyaknya itu. Airnya sebening kaca hingga kita bisa melihat bebatuan dan kerikil di dasar sungainya. Ya, Jabung, salah satu daerah di kabupaten Malang ini pesona alamnya seakan tak pernah pudar. Wisata air terjun seperti Coban Jahe, Coban Jidor, Coban Payung, Coban Tarzan.. ah masih banyak lagi nama-nama coban yang belum kusebut karena lupa namanya (meski tak lupa kenangannya). Gemericik air di Jabung selalu membuat rindu.
Dulu, kupikir Jabung hanya sebatas indahnya coban-coban itu. Namun sekarang ada keindahan lain yang tak kalah membuat rindu dan selalu ingin kembali. Ya, di jabung ada surga literasi. Bagi pecinta buku tentu tak asing dengan Perpustakaan Anak Bangsa yang digagas oleh Mas Eko Cahyono. Seorang lelaki dari desa Sukopuro, Jabung yang sudah belasan tahun mengelola perpustakaan ini dari rumah pribadi, pindah ke kontrakan dan sampai kini telah memiliki bangunan permanen sendiri.
Aku beberapa kali bertemu Mas Eko saat bedah buku. Di kalangan pegiat literasi Malang Raya Mas Eko memang cukup populer. Kehadirannya mampu membuat kami para penulis buku pemula merasa sangat diapresiasi. Dukungan dan semangat literasi yang ditularkan Mas Eko membuat kami menjadi semangat kembali untuk terus menulis ditengah lesunya penjualan buku dan semakin tergerusnya buku fisik di era buku digital.
Setiap kali hadir di acara bedah buku, Mas Eko selalu memberi masukan yang membuat kami belajar banyak hal baru. Berbagai jenis buku yang sudah dilahapnya membuat Mas Eko memiliki wawasan yang luas dan cara pandang berbeda. Danwawasan dan cara padang yang berbeda itu coba ia tularkan pada kami yang masih tahap belajar ini. Yah, Mas Eko bukan hanya seorang pustakawan sejati namun ia juga salah satu guru hebat bagi para pegiat literasi terutama di Malang Jawa Timur ini.
Perpustakaan Anak Bangsa yang digagasnya adalah bukti kecintaannya pada buku. Baginya buku adalah kekayaan yang tak ternilai harganya. Buku adalah harta karun terbaik dalam kehidupan. Buku adalah teman duduk yang setia saat berbagai masalah kehidupan mendera tanpa ampun. Buku membawa banyak harapan tidak hanya bagi dirinya pribadi namun juga bagi anak-anak yang putus sekolah.

Eko Cahyono, Penggagas Perpustakaan Anak Bangsa (Dok pribadi Eko Cahyono)
Ribuan buku diperpustakaan ini ditata sedemikian rupa siap menyambut tamu yang datang setiap hari. Pengunjungnya beragam mulai dari anak kecil sampai orang dewasa. Mereka datang bukan hanya untuk meminjam buku atau membaca saja karena ternyata berbagai aktifitas lain di tempat ini. Ada banyak program kegiatan seperti lomba mewarnai dan bermain bersama bagi anak-anak. Ada juga lomba membaca puisi dan bedah karya. Para pegiat literasi di Malang setuju tempat ini menjadi salah satu tempat diskusi yang menarik. Para mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi pun banyak terbantu dengan berbagai literatur yang ada di sini.
Satu hal yang saya ingat dari Mas Eko adalah aturan berbeda yang ia terapkan di perpustakaannnya. Tidak seperti perpustakaan lain yang menerapkan administrasi njlimet saat proses pendaftaran, Perpustakaan Anak Bangsa cukup meminjam 5 buku saja dan wajib di baca. Aku pun pernah meminjam beberapa koleksi buku Mas Eko. Kuambil sendiri bukunya dan kukembalikan sendiri tanpa diperiksa apakah bukunya ada yang kurang atau tidak. Seakan Mas Eko tidak khawatir sedikitpun jika bukunya hilang. Dan memang ternyata seperti itu.
Bahkan saat aku telat mengembalikan buku, aku hanya mengirim pesan padanya sekedar meminnta maaf karena tak bisa mengembalikan tepat waktu. Mas Eko hanya mengiyakan saja tanpa konfirmasi buku apa saja yang kubawa. Seakan ia percaya begitu saja saja buku itu aman di tanganku. Saat kutanya bagaimana jika ada yang tidak mengembalikan bukunya?
Bagi Mas Eko tak masalah jika ada yang tidak mengembalikan bukunya karena ia yakin buku itu tetap akan dibaca. Karena hanya orang yang mencintai buku lah yang akan meminjam buku-bukunya. Jadi ia tak khawatir sama sekali. Benar-benar berbeda dengan perpustakaan yang kukunjungi selama ini yang untuk proses pendaftaran di awal aja sudah sedemikian ribetnya. Belum lagi kalau lupa atau tidak sempat mengembalikan buku berasa punya utang dan ditagih dept collector. Hehe..
Di perpustakaan ini pun kita bisa nyemil-nyemil sambil baca buku dengan santainya seperti di rumah sendiri. Beda dengan perpustakaan pada umumnya yang menerapkan aturan dilarang membawa makanan di ruang perpustakaan karena takut mengotori buku. Ya lagi-lagi bisa jadi Mas Eko yakin seorang pecinta buku akan selalu menjaga bukunya dengan baik dan bersih. Nyatanya aku malah respek dengan pemikirannya ini. Dan benar aja sih wong di rumah kita aja baca buku sambil nyemil toh bukunya tetap bersih kan? Malu ah udah besar makan masih belepotan sampai ke buku-buku gitu. Pencinta buku takkan menyakiti buku.
Jika melihat kondisi Perpustakaan Anak Bangsa saat ini rasanya orang takkan menyangka bahwa ada cerita getir dari penggagasnya. Kehidupan selalu saja punya sisi kelam dan manusia dipaksa bertahan atau menyerah dengan keadaan. Bukan hal mudah bagi Mas Eko untuk mengelola perpustakaan ini. Semua berawal dari Surat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diterima Mas Eko dalam perusahaan konveksi tempat ia bekerja.
Surat PHK ini menjadi titik balik yang mengubah kehidupannya. Tahun 90-an menjadi tahun bersejarah bagi Mas Eko karena tanpa surat PHK itu mungkin Perpustakaan Anak Bangsa tidak akan pernah terwujud. Kondisinya yang terpuruk tidak membuatnya patah semangat. Di saat ini lah ide membuat perpustakaan sederhana mulai terwujud.
Buku-buku, koran dan majalah bekas yang sempat dikumpulkannya ternyata mampu menjadi pelipur lara yang membuatnya sedikit lupa akan nasibnya. Dari buku-buku, koran dan majalah bekas itulah ia berhasil menarik perhatian anak-anak dan orang dewasa di kampungnya.

Eko Cahyono, Penggagas Perpustakaan Anak Bangsa. (Dok pribadi Eko Cahyono)
Awalnya buku yang terkumpul hanyalah buku-buku pribadi miliknya. Namun antusias anak-anak dan prang dewasa yang ikut membaca di rumahnya membuatnya terketuk untuk menambah koleksi bukunya. Maka ia pun berusaha mencari donator buku satu persatu. Tidak mudah memang. Namun ia tidak menyerah. Berkat usahanya ada sekitar ribuan rumah yang telah menyumbangkan bukunya pada lelaki ini.
Mengumpulkan buku dari satu tempat ke tempat lain ini pasti sangat menguras energi dan waktunya yang kala itu ia masih harus berjuang untuk kebutuhan ekonomi. Namun kecintaannya pada dunia literasi dan semangat anak-anak yang selalu merindukan buku-buku bacaan baru membuat ia berusaha untuk terus menambah koleksi-koleksinya.
Di saat perpustaaannya mulai banyak pengunjung, orangtuanya merasa tidak nyaman dan terganggu dengan banyaknya pengunjung yang datang untuk meminjam buku-buku koleksinya. Karena itu Mas Eko memindahkan perpustakaan ke sebuah rumah kontrakan di dekat rumah orang tuanya tersebut. Sehingga masyarakat tetap bisa datang ke perpustakaan namun tidak lagi mengganggu privasi orang tuanya.
Usahanya mulai dikenal hingga akhirnya ia berhasil meraih juara kedua penghargaan dari Kick Andy Heroes dan berhasil memiliki bangunan sendiri hingga tak peru mengontrak lagi. Bukan hanya meraih penghargaan dari Kick Andy Heroes namun tenyata banyak apresiasi yang ia dapatkan. Berkat perjuangannnya dalam mengelola Perpustakaan Anak Bangsa ini Mas Eko meraih banyak pernghargaan. Salah satunya terpilih sebagai salah satu pemuda peraih Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards dari Astra.
Popularitas perpustakaan ini semakin tinggi dan membuat Mas Eko kini tak lagi perlu mendatangi rumah satu persatu. Donator dari pemerinntah maupun dari swadaya masyarakat telah sanggup memenuhi dahaga para pencinta buku yang setiap hari tak pernah sepi berkunjung ke perpustakaannya.
Baca juga: Merawat Cinta Dengan Visi Misi
Jika melihat ke belakang kembali tentu ini sebuah perjuangan yang tidak mudah. Biaya operasional perpustakaan ini tentu tidak sedikit. Dulu dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan membuat Mas Eko harus berjuang agar perpustkaannya tetap hidup dan memberi manfaat bagi masyarakat sekitarnya.
Kesulitan hidup tidak membuatnya menyerah. Himpitan ekonomi tak boleh membuat obor literasi berhenti menyala. Api cinta pada buku tak boleh padam. Meski harus berjuang namun anak-anak Sukopuro tak boleh berhenti membaca.

Eko Cahyono, Penggagas Perpustakaan Anak Bangsa. (Dok pribadi Eko Cahyono)
Kini, perpustakaannnya telah memiliki puluhan ribu anggota yang terbesar di berbagai kota di Indonesia yang berasal dari berbagai macam latar belakang budaya dan ekonomi. Ribuan lembar buku telah terbaca. Jutaan huruf-huruf di dalamnya telah menginspirasi banyak orang untuk terus mencintai dunia literasi.
Kehadiran Perpustakaan Anak Bangsa dengan berbagai fleksibilitas tata cara peminjaman membuat kaum mendang-mending sepertiku cukup terbantu. Tipe orang sepertiku yang punya pikiran mending uangnya buat bayar SPP anak dari pada buat beli buku. Mending uangnya buat bayar listrik dan WIFI daripada nunggak dan listrik dicabut.
Faktanya harga buku saat ini cukup menguras kocek dan pikiran jadi lebih baik baca buku online lebih praktis. Toh semua penghuni rumah sudah punya hape sendiri-sendiri. Yaah… meski jujur saya lebih nyaman membaca buku fisik daripada elektronik namun mahalnya harga buku membuat saya harus bisa kompromi dengan keadaan.
gam
Sudah. Tak perlu nyinyir dengan sok memotivasi kalau buku adalah investasi leher ke atas. Lalu mengatakan dengan nada sinis bahwa hanya orang-orang yang berpikiran cerdas lah yang akan berusaha memprioritaskan membeli buku daripada barang yang lain. Tak perlu saling membandingkan. Toh, setiap orang memiliki prioritasnya sendiri-sendiri. Dengan adanya Perpustakaan Anak Bangsa bisa menjadi solusi menarik agar kita tetap bisa membaca buku-buku berkualitas tanpa perlu membayar lagi.
Satu alasan lagi (selain harga buku fisik yang mahal) membuatku memilih meminjam buku di perpustakaan. Ruangan rumah yang terbatas. Aku seorang pencinta buku. Buku-buku koleksi mulai jaman masih sekolah itu masih menumpuk dan membuat rumah tidak seberapa luas itu menjadi semakin sempit karena kardus-kardus dan rak buku yang memenuhi ruangan. Beberapa sudah dipinjamkan, beberapa ada yang didonasikan. Namun jumlahnya masih saja tetap banyak. Ibuku berulang kali menyuruh untuk meloakkan saja namun entah kenapa aku selalu menolaknya.
Aku merasakan puncak emosional setiap kali akan melakukan decluttering. Namun untuk dibaca kembalipun rasanya sudah cukup. Jika aku memaksakan diri untuk terus membeli buku pun maka akan ditaruh di mana lagi? Tak ada tempat lagi. Diloakkan? Oh tidak! Sungguh dilema. Untunglah ada orang-orang seperti Mas Eko yang membuat saya tidak perlu menumpuk koleksi buku
Ya, akhirnya harus kuakui, Mas Eko dan dunia buku seakan jodoh yang memang diciptakan alam untuk membantu orang-orang sepertiku, orang-orang yang jatuh cinta pada buku namun masih harus berpikir 1000 kali untuk membeli buku. Orang yang ingin menikmati buku dengan nyemil tanpa takut dipelototi penjaga perpus. Tidak lagi takut ditagih-tagih dan didenda saat terlambat mengembalikan buku. Cukup hanya perlu konfirmasi dan minta perpanjangan waktu lewat WA lalu lanjut membaca buku lagi.
Meski survey internasional mengatakan Indonesia berada di posisi bawah dalam dunia literasi tapi saya yakin orang-orang yang peduli seperti Mas Eko akan terus ada dan membuat Indonesia menjadi lebih baik. Nyala obor literasi di Indonesia belum padam. Tetap optimis, Kawan!
Baca juga: Literasi Digital dalam Dunia Perempuan
2 Comments. Leave new
Semoga, perpustakaan milik mas eko semakin menginspirasi dunia literasi
Kehadiran Mas Eko dan perpus anak bangsanya cukup inspiratif. Semoga terus eksis dan menginspirasi pegiat literasi di daerah lainnya