Saat cuaca sedikit berangin, saya terbawa takdir masuk ke dalam dunia maya. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saya bertemu grup tempat author, writer maupun reader dari seluruh penjuru dunia berkumpul. Tak tahu kenapa saya bisa tersangkut di sana. Sampai saat ini pun belum hilang rasa heran. Duhh, Gusti Allah suka sekali paring kejutan dalam hidup ini.
Hampir semua pertanyaan Admin saya jawab hanya dengan bermodalkan kalimat ‘Yes, I will’. Rasanya tidak mudah menunggu approve dari mereka. Saya tak lagi berharap dan hampir melupakannya karena tak kunjung ada jawaban. Detik-detik terakhir saat mulai kehilangan antusiasme itulah ada notifikasi muncul. Lalu bayangkan, seorang perempuan sedang duduk sendiri menghadap ponsel sambil menjentikkan jari dan bergumam, “Aha!” dengan kilatan mata bahagia. Beberapa waktu kemudian saya merasa sedang berada di tempat yang begitu asing.
Rasa penasaran membuat jantung berdebar ingin tahu ada apa di dalam sana. Untunglah pengalaman sebagai translator dan guru bahasa Inggris amat membantu saat berada di situasi seperti ini. Tak mudah memahami kalimat-kalimat yang… yeah, terkadang seperti bahasa planet, yang maknanya sulit saya temukan di kamus paling tebal di rumah ini. Masuk komunitas para Author seperti upgrading my English. Rasanya kayak peribahasa menyelam sambil minum juice jeruk. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Kill two bird with one stone.
Kali ini anggota grup sedang berdiskusi tentang sebuah pertanyaan, “ Comment with the book you are reading right now. Like anyone’s comments with books that you’ve read.” Spontan otak dan tangan saya bersinergi menekan keyboard hingga membentuk deretan huruf ”Kok Ipung Jadi Suka Wortel?”. Karena memang saya sedang (harus) membaca buku novel itu lagi dan mengeditnya ulang. Mungkin Anda bertanya kenapa harus menulis judul buku sendiri, sih? Saya hanya bisa mengangkat bahu, bagaimana lagi, hanya itu yang ada di otak saya saat ini.
Setelah menekan tombol enter, saya mencoba melihat-lihat jawaban para anggota yang lain. Masya Allah, banyak judul buku yang tak saya kenal sebelumnya. Saya tertegun. Beberapa detik lamanya waktu seakan berhenti tepat di depan tulisan itu. Deretan nama Ipung di antara judul buku-buku berbahasa asing sejenak membuat nafas saya tertahan. Betapa judul itu begitu Indonesia. Rasanya sejuk mencecap satu kalimat milik ibu pertiwi di antara ratusan judul bahasa asing yang bertebaran di sana sini.
Mungkin hal itu tak berarti apapun bagi mereka yang ada di grup. Mungkin hanya saya saja yang berlebihan. Mungkin Anda pun merasa itu sama sekali bukan sesuatu yang istimewa. Sama halnya saat kita menjawab komentar teman-teman di beranda facebook seperti biasanya. Lalu kita ngobrol asyik begitu saja. Dan tiba-tiba terkejut dengan komentar yang kita ketik sendiri. Hanya saja kali ini temannya memakai bahasa yang berbeda.
Saya intip profil beberapa di antara mereka. Nama-nama asing dengan foto yang sepertinya cuma bisa kita temui di tempat-tempat wisata atau di televisi saja. Wajah-wajah khas dengan rambut coklat, pirang atau merah. Mata biru ala Ratu Victoria. Ada juga profil seorang wanita gemuk memakai sari dengan bindi di dahinya.
Melihat Ipung diantara semburan judul-judul berbahasa Inggris membuat mata saya tak berkedip untuk kesekian kalinya. Semakin saya memandangi tulisan itu, semakin saya mencintai negeri ini. Semakin saya melihat cover-cover buku yang bertebaran dengan gambar daun gugur ataupun salju yang memutih, semakin saya merindukan gunung, pantai, pohon kelapa dan halaman belakang rumah saya.
Betapa Indonesia telah terlanjur merasuk ke dalam jiwa dan berurat akar ke dalam jantung. Hawa panas korupsi dan berbagai kabar politik yang menyesakkan tak membuat ibu pertiwi menjadi kehilangan pesona di mata saya.
Mungkin saya terlalu emosional. Tapi saya tak peduli. Mungkin saya berlebihan. Bisa jadi. Ipung, sekali lagi, berhasil membawa saya menuju keajaiban-keajaiban dalam hidup.