Ada tiga jam dinding di rumah saya. Satu dipasang di kamar depan, satu di kamar belakang dan satu di ruang tamu. Parahnya, setiap jarum jam masing-masing menunjukkan angka yang berbeda. Memang perbedaannya tidak banyak. Hanya berkisar lima sampai sepuluh menit. Akan tetapi, ternyata efeknya luar biasa bagi penghuni di dalamnya. Jarak angka itu terasa sangat signifikan.
Satu-satunya yang tepat waktu hanya jam di gawai. Jika saya ingin tahu waktu yang sesungguhnya, acuannya di gawai. Karena itu, saya nggak berani ngutek pengaturan jam yang aneh-aneh. Jam di gawai dianggap semacam kompas, acuan yang berlaku secara nasional. He..he..
Oke, balik ke jam dinding di rumah saya. Mungkin Anda akan berkomentar, jarum jam salah kok gak dibenerin? Minimal disamakan lah angkanya. Tinggal puter aja, kan? Hemmm… sebenarnya sudah ada usaha ke arah sana, minimal sebatas niat. Tapi ya itu, ada keuntungan tersendiri saat jarum jamnya tidak tepat waktu..
Saya pernah mencoba membiarkannya sesuai dengan jam yang ada di gawai alias tepat waktu. Tapi dasar saya suka lemot, selalu saja terlambat. Kalo mau ngapa-ngapain, mesti bilangnya, ah bentar lagi. Lima menit lagi. tanggung atau nggak apa-apalah telat dikit. Alhasil saya lebih banyak telatnya daripada tepat waktu. #Tutup muka pake daster#.
Lha, ternyata anak saya yang pertama plek ketiplek sama persis kelakuannya kayak emaknya. Kalau mau berangkat sekolah, kurang lima menit aja ogah berangkat. Harus ngepres baru cuzzz salim langsung keluar rumah. Padahal di rumah juga nggak ngapa-ngapain. Cuma ya itu, kalo jam nggak ngepres kok mau berangkat, rasanya gimanaaaa gitu.
Sampai suatu hari jam di rumah mendadak lemot, entah karena baterainya atau emang sudah waktunya minta ganti, jam berputar sepuluh menit lebih cepat. Saya awalnya tidak menyadari jarum jam yang tidak normal itu. So, aktivitas tetap berjalan seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Sampai saya sampai di kantor barulah nyadar. Ternyata saya tiba sepuluh menit lebih cepat dari biasanya.
Flashback. Ternyata pekerjaan rutin pagi hari juga selesai lebih cepat dari biasanya. Saya mandi dan berangkat ngantor sepuluh menit lebih cepat. Saya menulis lebih awal dari deadline, mengirim email, dan membaca pesan-pesan yang masuk juga lebih cepat. Alhamdulillahnya, anak saya jadi berangkat sekolah lebih cepat pula.
Saya tercenung sesaat. Waktu hanya berjarak sepuluh menitan, tapi seakan semua pekerjaan terselesaikan sempurna. Saya jadi punya waktu untuk untuk sholat dhuha sejenak. Di lain waktu, saya bisa menikmati sarapan tanpa harus terburu-buru. Biasanya minum aja kadang nggak sempat. Ha..ha..
Perjalanan saya terasa lebih santai. Dalam kondisi santai itu, ada banyak hal kecil yang bisa dilakukan ternyata. Saya bisa menyapa ibu-ibu yang menjemur baju di halaman rumah, menyapa tukang cilok yang lewat, ngobrol sebentar dengan pak tukang kebun sekadar menanyakan khabar karena beberapa hari ia tak masuk kerja. Hari-hari menjadi lebih produktif, padahal jam dinding hanya bertambah sepuluh menit. Tidak lebih.
Manusia suka menunda. Betul apa betul? Contohnya siapa hayooo? #Sambil nunjuk idung sendiri#. Menunda sepertinya sudah menjadi penyakit akut yang sulit sekali disembuhkan. Parahnya penyakit ini mewabah hingga ke segala lapisan. Buktinya hampir di setiap acara yang saya hadiri lebih sering molor daripada tepat waktu. Bukan hanya acara setingkat RT, acara setingkat nasional pun tidak terkecuali.
Kayaknya kita sudah terbiasa dengan ‘jam karet’ ala Indonesia. Jika ada undangan rapat jam 09.00, hampir bisa dipastikan rapatnya mulai jam 09.30. Saya suka sebel untuk hal semacam ini. Kondisi ini kadang bikin saya bersikap preventif. Sengaja datang terlambat supaya nggak nunggu kelamaan. Ha..ha.. tau lah orang Indonesia.
Nah, ngomongin masalah ngaret alias suka menunda. Kayaknya saya termasuk pelaku (sekaligus korban) dari kebiasaan buruk ini. Ada beberapa pengalaman buruk yang saya alami akibat suka menunda. Salah satunya, naskah buku tidak lolos hanya karena saya menunda-nunda kemudian lupa mengirim persyaratannya. Sepele (tapi penting). Nah, udah tahu sih penyakitnya, tapi kok sulit sekali diajak berubah. Fiuh!
Tapi kalau pas saya lagi rajin. Wow! Saya sendiri aja sampai nggak percaya bisa mengerjakannya. Saya suka ngeliat diri sendiri yang lagi rajin. Saya paling benci diri saya yang lagi malas. Tapi ya itu, kok yo sulittt rasanya. Padahal namanya muslim, seharusnya bisa menghargai waktu.
Seringkali saya mengerjakan tugas kalo sudah mepet. Detik-detik menjelang deadline itu seakan suatu sensasi unik yang menegangkan. Membuat saya tiba-tiba bisa berpikir cepat di waktu yang cuman secuprit. Ide langsung berhamburan tak terkendali. Semacam dapet wangsit, semua langsung muncul. Brul! Brul! Mungkin ini semacam the power of kepepet. Halah! Alesan. He..he.. Yang pasti ndak usah ditiru.
Tapi nggak semua penyakit suka menunda itu buruk lho. Ada juga penyakit menunda yang memang harus kita lakukan. Serius? Iya, pake banget. Oke, lanjut ya.
Dalam hidup tidak selamanya berpikir dan bertindak cepat itu bagus. Saya lebih suka bertindak ‘tepat’ terlepas dilakukan dengan cepat ataupun lebih lambat. Setidaknya sebelum melakukan sesuatu saya akan memikirkan dampaknya dulu. Saya akan berusaha menganalisis berdasarkan SWOT sesuai pengetahuan saya. Bisa jadi saya akan mundur, tapi bisa jadi saya akan maju terus. Setidaknya cara ini terbukti ‘menyelamatkan’ banyak orang di setiap situasi. Membuat kita banyak belajar tanpa harus merasakan gagal terlebih dahulu.
Untuk hal-hal tertentu, saya lebih mengandalkan intuisi. Saya tidak akan mudah bergerak sebelum benar-benar yakin mampu menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Setidaknya pengalaman membuktikan hal seperti itu. Ada saat – saat tertentu terkadang saya mensyukuri ‘kelambatan’ ini.
Semakin umur bertambah semakin saya menyadari, segala hal di dunia ini saling terkait. Ada hukum sebab akibat yang sudah pasti selalu mengikuti di belakang setiap perbuatan. Law of projection ini setidaknya membuat saya berpikir dua kali sebelum memutuskan sesuatu. Karena apapun yang saya lakukan, dampaknya pasti akan terasa di masa depan. Efeknya saya jadi tidak mudah bergerak cepat. Setidaknya, saya butuh waktu untuk menganalisis resiko yang akan dihadapi.
Kembali ke masalah suka menunda. Tidak semua kegiatan menunda itu buruk. Ada saat-saat tertentu ia justru harus dilakukan. Misalnya, urusan online. Dulu saya seringkali pokoknya ada berita ‘bagus’ langsung muncul. Insting gerak cepat share-share begitu saja. Tanpa tabayyun terlebih dahulu, tanpa memikirkan dampaknya. Kadangkala sebuah berita, walaupun itu benar, tidak selalu harus disebarluaskan jika memang tidak berguna dan hanya membuat keresahan. Sekarang saya lebih suka menunda aktivitas share ini sampai benar-benar yakin ia berguna.
Selain itu, menunda kesenangan. Ada saat-saat tertentu, kita harus menunda kesenangan untuk hal yang lebih besar lagi. Kita rela berlelah-lelah mencari ilmu, padahal leyeh-leyeh nonton TV di rumah lebih asyik. Sebab bertambahnya ilmu akan membuat kita mendapatkan kesenangan yang lebih besar lagi nanti.
Ada saat tertentu kita bekerja lebih keras untuk masa depan yang lebih baik. Padahal dengerin musik sambil main game lebih asyik daripada bekerja. Namun, kita rela menunda kesenangan demi kesenangan lain yang lebih bermakna di masa mendatang.
Nah, khusus emak-emak nih banyak yang menunda mimpinya demi lebih fokus pada anak-anak. Pernah nggak kepikiran, seandainya bukan karena cinta anak mungkin saya sudah di dunia bagian bla..bla.., sudah menjadi bla..bla.. nah saya suka salut sama perempuan kayak gini. Mereka menunda kesenangan pribadi demi anak-anaknya. love you Mak, sini tak peluk satu-satu.
Tuh kan, menunda nggak selalu buruk.
Eh iya, saya lebih suka liat jam dinding daripada jam gawai. Kenapa coba? Soalnya jam dinding itu jarumnya membentuk suatu sudut yang membantu otak merefleksikan sebuah ukuran waktu. Melihat sudut yang semakin mengecil atau membesar , otomatis otak kita membentuk persepsi visual sendiri tentang waktu. Misal, jam ngajar saya dimulai pukul 07.00. Ketika jarum pendek menunjuk angka 7 dan jarum panjang menunjuk angka 10, artinya waktu saya sudah mepet. Semakin sudut mengecil maka semakin mepet waktu saya. Dengan visualisasi sudut ini memudahkan otak untuk memutuskan tindakan tertentu. Wah, mbulet ya! Ha..ha..nggak paham juga nggak papa. Nggak bakal keluar di ujian kok.
Eh, saya lagi mager nih. Mo nulis buku lagi tapi penyakit aras-arasennya kumat lagi. Info nggak penting. Abaikan. Panadol mana panadolllll!
13 Comments. Leave new
Haha sensasi the power of kepepet emang ajib mbak, imajinasi bisa berasa mumbul ke awang2
kayaknya tipe suka mepet juga nih, mbak. He..he
Sepakat mb.. Kadang penting untuk menunda kesenangan.
Good insight mbak! Kadang suka sedih karna harus nunda kesenangan misal jalan2 buat kebutuhan lain; pendidikan anak misalnya haha.
Wahhh aq banyak kesindir dari tulisan mb…suka menunda kerjaan … Klu gk meped deadline nyante…hiii…resepnya apa yaa pnyakitku itu bisa terobati…hehe…
Lha aku mau tanya sampean, malah sampean seng tanya aku. Ha..ha..
menunda pekerjaan memang momok banyak orang ya mba. boleh nih cobain cepetin jam juga. hahahaha
Yaah ini sih saya banget hihihi suka mensyukuri keterlambatan 😅
Iya juga sih… sy malah suka menunda buat status, jadinya nggak nyetatus hehe
The power jam di majuin menitnya hehehehe
Sini kupeluk balik mbakkk, kadang aku mikir nikahku kecepeten, blom sempat menaklukan dunia, hihihi…
Waktu tidak toleran dengan orang yang mengabaikannya, karena saya sudah merasakannya sendiri …Kapok
Benar hu, setiap perbuatan dan perlakuan pasti ada sebab akibat, termasuk dalam kehidupan, ntah bagaimana kita rasakan itu ketika sudah menginjak dewasa, dan itupun jika kita berpikir lebih cermat lagi