Senengnya bisa berkolaborasi dengan anak sendiri itu kepuasan yang tak bisa dinilai dengan apapun. Priceless. Novel petualangan yang berkisah tentang anak yang tak suka sayur ini buat saya istimewa banget. Bagaimana tidak istimewa coba? Ada dua alasan, yang pertama, buku ini berhasil menyalip novel “Reruntuhan Cahaya Di Langit Semeru” yang harusnya terbit duluan.
Yang kedua, yaaaa… karena saya nggak harus bayar ilustratornya. He..he.. Aufa dengan senang hati bantu Emaknya bikin gambar ilustrasi. Ssst.. semoga Si kakak nggak nuntut royalti seandainya cerita dongeng yang kami baca tadi malam bakalan jadi ide novel selanjutnya.
Menemukan buku ramah anak untuk usia menjelang ABG buat saya tidak mudah. Lebih gampang menemukan buku untuk anak usia dini. Tinggal pilih buku dengan gambar ilustrasinya yang banyak serta berisi nilai moral yang sesuai untuk usianya beres dah. Buku jenis ini sudah sering kita temui di toko-toko buku baik online maupun offline. Novel dewasa lebih mudah lagi mencarinya.
Namun jenis bacaan untuk anak usia tanggung jumlahnya masih sedikit. Misal kita beri bacaan yang banyak gambarnya kok kayaknya dia sudah mampu membaca dengan komposisi huruf yang lebih dominan. Gak cocok dong bacaan adiknya yang TK dikasihkan kakaknya yang usia kelas 6 SD. Namun jika diberi bacaan usia remaja juga belum waktunya. Bingung ya. Hehe..
Aufa, anak saya yang usia tanggung itu suka sekali membaca. Ia pernah saya beri buku novel terjemahan. Eh, satu hari aja kelar bacanya. Anak yang hobi baca kayak gini dikasih buku yang banyak ilustrasinya jelas terlalu mudah. Ia butuh buku dengan jumlah huruf yang lebih menantang.
Akhirnya saya kepikiran kenapa nggak nulis sendiri aja? Kebetulan saya nih sering banget dicurhatin ibu-ibu kompleks yang anaknya susah makan sayur. dari curhatan itu akhirnya saya dan anak-anak ngobrol sih tentang pentingnya sayur dan bagaimana kita harusnya menghargai makanan. Saya paling sebel kalo liat ada orang suka buang-buang makanan.
Nggak butuh lama saya langsung eksekusi menulis. Alhamndullilah satu bulan buku solo ini bisa dilunching di pasaran. Seperti yang saya bilang saya kebingungan mencari ilustrator yang bisa dibayar dengan standar keuangan kami.
Pas lagi bingung, eh ngeliat Aufa coret-coret kertas bekas. Kenapa saya nggak menggunakan kemampuan anak sendiri untuk ilustratornya? Nggak lama prosesnya nggambarnya. Saya juga tidak terlalu mengintervesi gambarnya harus begini-begini. saya biarkan Aufa menggambar sesuai imajinasinya. Dan taraaaa…. novel anak ini akhirnya bisa terbit.
Awalnya novel ini terbit secara INDIE sampai akhirnya kami berpikir kenapa tak diterbitkan ulang di penerbit Mayor saja? Dan taraaa… setahun kemudian mimpi tercapai. Sebentar lagi novel anak berjudul Kok Ipung jadi Suka Wortel sudah bisa dinikmati di toko-toko buku Gramedia seluruh Indonesia.
Gegara novel ini pula Aufa berhasil diterima sekolah lewat jalur prestasi. Alhamndullillah bisa dapat potongan SPP yang lumayan jumlahnya. Bukan karena nilai matematika yang jago, wong kalo urusan angka kepalanya langsung pusing. haha.. Padahal yang masuk jalur prestasi rata-rata anak-anak yang nilai akademiknya bikin saya geleng-geleng kepala.
Eh, kapan-kapan saya mau bikin portofolio yang isinya buku-buku punya saya. Sekarang masih menunggu waktu agak longgar dulu. Entah kapan. Karena kenyataannya saya masih juga berkutat dengan urusan domestik yang nggak ada habisnya.
Tapi saya senang setidaknya kami telah meninggalkan sejarah yang bisa dibaca kelak untuk
1 Comment. Leave new